Skandal Uang Makan Fiktif Senilai Rp 14,6 Miliar Lebih, Untuk Makanan yang Tak Pernah Tesaji.

Daerah
Dilihat 461

Kompasnews.co.id
Di atas kertas, ratusan kegiatan jamuan dan konsumsi tampak mewah: seminar, rapat koordinasi, hingga penyambutan tamu. Ribuan porsi makanan dan minuman tercantum dalam dokumen pertanggungjawaban anggaran. Tapi di lapangan, tidak satu pun dari kegiatan itu pernah benar-benar berlangsung.

Temuan itu berasal dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas APBD Tahun Anggaran 2024. Sekretariat Daerah (Setda) Kota Pekanbaru disebut telah mencairkan dana miliaran rupiah untuk kegiatan fiktif yang sarat rekayasa dan manipulasi dokumen.

Total kerugian negara yang terindikasi: lebih dari Rp14,6 miliar.


Makanan Fiktif, Uang Nyata

Audit BPK mencatat, terdapat sedikitnya Rp1,38 miliar untuk belanja makanan dan minuman yang tak pernah terlaksana. Penyedia jasa yang tercantum dalam kontrak ternyata hanya “dipinjam bendera”-nya. Uang dicairkan ke rekening perusahaan, lalu ditarik tunai dan diserahkan kepada oknum staf Setda.

Sebagian dari dana itu dilengkapi dengan SPJ palsu senilai Rp189 juta. Invoice, kuitansi, dan berita acara disusun sepihak tanpa pelaksanaan riil. Dalam beberapa kasus, penyedia bahkan tidak pernah tahu nama mereka dicatut dalam kegiatan.

BPK juga mencatat nilai dokumen pertanggungjawaban tidak sah yang mencapai Rp10,96 miliar. Uang diserahkan dalam bentuk tunai melalui amplop tanpa dokumentasi resmi—pola klasik yang sulit dilacak namun akrab dalam praktik birokrasi koruptif.

Jejak di Balik Meja Anggaran

Pemeriksaan mengungkap nama-nama yang diduga terlibat. Mulai dari Sekretaris Daerah (hingga 2 Desember 2024) yang gagal menjalankan fungsi sebagai Kuasa Pengguna Anggaran, hingga Kabag Umum dan Plt. Kabag Umum, yang diduga meloloskan SPJ cacat.

PPTK dan sejumlah staf bagian umum juga masuk dalam daftar. Mereka disebut aktif menyusun dokumen palsu dan mengatur alur kegiatan fiktif demi meloloskan pencairan dana.

Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada pejabat yang memberikan penjelasan atau bantahan secara terbuka.

LSM P2NAPAS Bersuara

Kritik tajam datang dari LSM P2NAPAS (Perkumpulan Pemuda Nusantara Pas-Aman). Ketua Umumnya, Ahmad Husein Batu Bara, menyebut kasus ini sebagai “pengkhianatan telanjang terhadap keuangan negara”.

“Uang makan tak pernah dimakan, kuitansi lahir dari angan-angan. Ini bukan sekadar kelalaian, tapi skema kejahatan terstruktur dalam sistem birokrasi,” kata Ahmad dalam pernyataannya.

P2NAPAS menuntut agar:

KPK, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian segera turun tangan dan menetapkan tersangka;

Walikota Pekanbaru diminta bertanggung jawab atas lemahnya pengawasan;

BPK menyerahkan hasil audit lengkap kepada aparat penegak hukum;

DPRD Kota Pekanbaru membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk membuka kasus ini secara transparan;

Media dan masyarakat sipil turut mengawal proses hukum hingga tuntas.

Luka di Meja Rakyat

Korupsi anggaran konsumsi barangkali terlihat remeh. Tapi di baliknya, ada ironi yang mencolok: ketika pejabat berpesta dengan anggaran fiktif, anak-anak di pinggiran kota Pekanbaru masih mengantre bantuan gizi. Ketika kuitansi palsu dicetak, jalan rusak dan puskesmas sepi tenaga medis dibiarkan.

Skandal ini membuka kembali pertanyaan lama: seberapa dalam penyakit dalam birokrasi kita, dan siapa yang akan benar-benar membayar harga dari semua ini?

Jawabannya bisa jadi tidak akan kita temukan di meja makan, tapi di ruang sidang pengadilan — jika kasus ini benar-benar dibawa ke sana.

Redaksi.

Catatan redaksi: Redaksi Kompasnews.co.id telah berupaya menghubungi beberapa pejabat, namun hingga batas waktu penerbitan, belum ada tanggapan resmi.

You might also like