Halsel, Obi Barat, 16 Juli 2025 — Aroma ketidakjelasan dalam pengelolaan dana tambang kembali mencuat di Desa Mantahan, Kecamatan Obi Barat, Halmahera Selatan. Warga dan sejumlah pengusaha tromol lokal mulai angkat suara terkait dugaan pungutan tak transparan yang dilakukan oleh Bos Lambolu, tokoh yang dikenal berperan sebagai bendahara dalam proses pengurusan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
Menurut pengakuan warga, selama tiga tahun terakhir, Bos Lambolu secara rutin memungut iuran sebesar Rp3 juta per bulan dari aktivitas bak rendaman tambang emas di desa tersebut. Namun, hingga kini belum ada penjelasan resmi mengenai aliran dana tersebut: apakah masuk ke dalam kas desa, rekening kelompok, atau justru digunakan secara pribadi.
“Saya ingin tahu, uang itu ke mana? Apakah tercatat sebagai potensi desa, masuk ke rekening kelompok, atau Bos Lambolu sendiri yang nikmati?” ungkap salah satu warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Tak hanya itu, warga juga menyebut adanya pungutan sebesar Rp5 juta per orang yang dilakukan oleh Bos Lambolu bersama seorang konsultan terhadap para pelaku usaha tromol. Dana tersebut diklaim sebagai biaya pengurusan legalitas WPR dan IPR. Namun, sampai saat ini, proses tersebut tak kunjung ada kejelasan ataupun tindak lanjut.
“Kami sudah setor lima juta untuk pengurusan izin. Tapi tidak ada kabar sama sekali. Kami merasa ditipu,” tutur seorang pengusaha tromol.
Situasi ini menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. Mereka mendesak agar aparat penegak hukum, segera turun tangan menyelidiki persoalan tersebut. Warga juga menuntut transparansi penuh dari Bos Lambolu dan pihak-pihak terkait mengenai seluruh dana yang telah dikumpulkan.
Menanggapi persoalan ini, praktisi hukum La Ode Sudarmono, SH. menyatakan bahwa tindakan pungutan tanpa kejelasan pertanggungjawaban dapat dikategorikan sebagai pelanggaran serius.
“Kalau benar ada pungutan sebesar Rp3 juta per bulan selama tiga tahun tanpa laporan atau dasar hukum yang jelas, maka patut diduga telah terjadi penyalahgunaan kewenangan, bahkan masuk kategori tindak pidana korupsi sesuai Pasal 12e Undang-Undang Tipikor,” ungkap Mahendra.
Ia menambahkan, pungutan sebesar Rp5 juta untuk pengurusan legalitas yang tidak jelas berpotensi melanggar hukum.
“Jika pungutan tersebut tidak melalui mekanisme resmi, tidak dicatat dalam struktur APBDes atau kelompok resmi, maka bisa dikualifikasikan sebagai pungutan liar. Hal ini dapat ditindak oleh aparat hukum atau Satgas Saber Pungli,” lanjutnya.
Sudarmono mendorong aparat penegak hukum untuk segera turun melakukan audit investigatif terhadap aliran dana yang dihimpun oleh Bos Lambolu, demi kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.
“Masyarakat jangan dibiarkan jadi korban manipulasi proses legalitas tambang. Negara dan aparat harus hadir,” tegas La Ode Sudarmono, SH.
Hingga berita ini ditayangkan, Bos Lambolu belum memberikan keterangan resmi terkait dugaan pungutan dan ketidakterbukaan penggunaan dana yang disorot oleh warga.
( Abubakar S )













