Padang — Di tengah upaya berkelanjutan untuk memperkuat akuntabilitas birokrasi, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait dugaan penginapan fiktif senilai Rp41,27 juta pada Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat menjadi sinyal penting bagi perbaikan tata kelola. Meski nilainya relatif kecil dalam skala anggaran, implikasinya terhadap kepercayaan publik jauh lebih besar.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK, dari 52 kegiatan perjalanan dinas, terdapat dokumen penginapan yang tidak valid. Beberapa nama tidak ditemukan dalam catatan hotel, sementara pihak-pihak terkait banyak yang tidak hadir saat diminta klarifikasi oleh auditor BPK hingga batas waktu 9 Mei 2025.
Pentingnya Kepemimpinan yang Responsif
Kepala Dinas Kehutanan Sumbar, Dr. Ferdinal Asmin, S.TP, MP, saat dikonfirmasi tidak membantah adanya ketidaksesuaian. Ia menyebut bahwa temuan tersebut “sudah dibayarkan”, namun belum merinci lebih lanjut. Meski jawaban ini menandakan adanya langkah korektif, publik masih menanti penjelasan lebih komprehensif agar tidak menimbulkan persepsi negatif berkepanjangan, katanya pada LSM P2NAPAS (7/6).
Dalam birokrasi modern, kecepatan dan kejelasan respon dari pimpinan sangat krusial dalam meredam spekulasi serta menunjukkan komitmen terhadap akuntabilitas. Ketika transparansi menjadi nilai inti pemerintahan, diam bukan lagi pilihan yang bijak.
Ahli Soroti Kerapuhan Sistem, Bukan Sekadar Human Error
Ahmad Husein Batu Bara, Ketua Umum LSM P2NAPAS, menyebut bahwa persoalan ini bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan indikasi potensi system failure dalam lapisan pengawasan.
“Kalau laporan fiktif bisa lolos dari filter internal, artinya bukan hanya soal keteledoran personal, tapi rapuhnya mekanisme kontrol yang ada,” jelas Husein.
Ia mengingatkan bahwa pelanggaran terhadap tiga prinsip utama dalam PP No. 12 Tahun 2019 — yakni transparansi, tanggung jawab, dan pembuktian yang sah — dapat memperlemah fondasi keuangan publik jika tidak segera dibenahi.
Redaksi













