Lombok Timur — Dugaan praktik pungutan liar (pungli) dengan pola yang sistematis dan terstruktur kembali mencuat di lingkungan pendidikan Kabupaten Lombok Timur. Kali ini, SMK Negeri 2 Selong menjadi sorotan tajam setelah Gerakan Pemuda Sasak Bersatu (GPS Bersatu) membeberkan indikasi pungli yang dibungkus rapi dengan istilah Sumbangan Pembiayaan Pendidikan melalui komite sekolah.
Skema “Grade” Sumbangan: Pungli yang Dibungkus Administrasi
Temuan GPS Bersatu menunjukkan bahwa sumbangan kepada sekolah tidak hanya ditetapkan secara nominal, tetapi disusun dalam enam Grade bernilai ratusan ribu hingga lebih dari dua juta rupiah, sebagai berikut:
Grade 1: Rp 600.000 – Rp 750.000
Grade 2: Rp 750.000 – Rp 900.000
Grade 3: Rp 900.000 – Rp 1.200.000
Grade 4: Rp 1.200.000 – Rp 1.500.000
Grade 5: Rp 1.500.000 – Rp 2.000.000
Grade 6: Rp 2.000.000 – (tidak dibatasi)
Sumbangan yang seharusnya bersifat sukarela justru berubah menjadi pungutan yang diatur nominalnya, bahkan dilengkapi dengan surat pernyataan dan kwitansi seolah-olah merupakan transaksi legal.
Tekanan Psikologis pada Siswa: Nama Dipajang di Kelas
Sejumlah wali murid mengaku kepada tim GPS Bersatu bahwa anak-anak mereka mengalami tekanan mental karena di ruang kelas ada daftar nama siswa yang sudah dan belum membayar. Kondisi tersebut dinilai tidak hanya merendahkan martabat siswa, tetapi juga melanggar etika pendidikan dan prinsip perlindungan anak.
“Anak-anak kami jadi merasa rendah diri hanya karena belum membayar. Mereka takut masuk kelas,” ungkap salah satu wali murid dengan nada getir.
Modus Baru: “Sumbangan Komite Semester Ganjil” Rp 300 Ribu
Tidak berhenti pada skema grade, pungli diduga kembali terjadi dalam bentuk sumbangan komite semester ganjil sebesar Rp 300.000 yang tertulis jelas dalam kwitansi pembayaran siswa baru-baru ini.
Ketua GPS Bersatu, Zaeni Hasyari, mempertanyakan dasar penetapan nominal tersebut.
“Sumbangan kok ada nominalnya? Dari mana muncul angka itu? Kalau sudah ditentukan jumlahnya, itu bukan sumbangan lagi. Itu pungli,” tegasnya.
Pertanyaan Besar: Ke mana Pergi Dana BOS, PIP, DAK, dan Revitalisasi?
Zaeni menyayangkan alasan pihak sekolah yang menyebut pungutan digunakan untuk “akomodasi kegiatan siswa”. Menurutnya, pemerintah pusat telah mengucurkan banyak anggaran mulai dari dana BOS, Program Indonesia Pintar (PIP), Dana Alokasi Khusus (DAK) hingga Anggaran Revitalisasi Sekolah.
Karena itu, pungutan tambahan kepada siswa dinilai tidak memiliki urgensi, apalagi dilakukan dengan pola yang memaksa.
GPS Bersatu bahkan mencium dugaan lebih serius: rekayasa dalam Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) dana BOS dan BPP tahun 2023–2024, serta indikasi praktik bisnis dalam pengadaan seragam siswa.
Seragam yang Berlebihan dan Mahal
Aturan sebenarnya hanya memperbolehkan seragam ciri khas sekolah dan seragam olahraga. Namun GPS Bersatu menemukan lebih dari dua jenis seragam dijual kepada siswa dengan harga jauh lebih tinggi dibandingkan harga di pasaran. Dugaan ini memperkuat asumsi adanya benturan kepentingan dan penyalahgunaan kewenangan.
GPS Bersatu Sudah Kantongi Bukti
Zaeni mengungkapkan bahwa timnya telah melakukan investigasi langsung, mewawancarai sejumlah wali murid, serta mengumpulkan bukti berupa: Salinan surat pernyataan, kwitansi pembayaran dan keterangan saksi-saksi.
“Bukti-bukti ini cukup untuk menegaskan bahwa telah terjadi pungli yang dilakukan oleh oknum kepala sekolah,” tegasnya.
Akan Hearing & Lapor APH
GPS Bersatu menegaskan bahwa dalam waktu dekat mereka akan melakukan hearing di Dinas Pendidikan Provinsi NTB, dan melaporkan temuan ini kepada Aparat Penegak Hukum (APH), termasuk Kejaksaan Tinggi NTB.
“Kami yakin masalah di SMK Negeri 2 Selong bukan hanya pungutan liar. Pengelolaan dana sekolah perlu diaudit secara menyeluruh,” tutup Zaeni.***
(Agus_LB)













