Kompasnews
Polemik antara Jendral Purnawirawan TNI, Sutiyoso, dan Tokoh Ormas, Hercules, telah menjadi perbincangan hangat di media sosial. Sutiyoso, mantan Danjen Kopasus dan Gubernur DKI Jakarta dua periode, mengkritik Ormas yang menggunakan baret merah dan seragam yang mirip dengan TNI. Ia bahkan mengusulkan agar Mendagri mengubah UU Ormas untuk mencegah penyalahgunaan seragam dan atribut TNI.
Hercules, sebagai tokoh ormas, menanggapi keresahan Sutiyoso dengan mengatakan bahwa Sutiyoso sudah “bau tanah”. Ucapan ini memicu reaksi keras dari Mantan Panglima RI, Jendral Purnawirawan TNI, Gatot Nurmantyo. Gatot menilai bahwa ucapan Hercules tidak pantas dan tidak hormat kepada Sutiyoso sebagai purnawirawan TNI.
Dalam perkembangan terbaru, beberapa Jendral Purnawirawan TNI, termasuk Sutiyoso dan Tri Sutrisno, telah menandatangani surat desakan kepada Presiden RI, Prabowo Subianto, untuk memecat Gibran sebagai Wakil Presiden RI. Surat tersebut berisi delapan poin tuntutan, termasuk permintaan agar Gibran dipecat dari jabatannya sebagai Wakil Presiden.
Polemik ini memunculkan perdebatan tentang nilai-nilai demokrasi dan kebebasan dalam masyarakat. Di satu sisi, demokrasi memberikan ruang bagi kebebasan berpendapat dan berekspresi. Namun, di sisi lain, nilai-nilai budaya dan etika sosial juga perlu dijunjung tinggi.
Dalam konteks ini, pendapat Hercules tentang Sutiyoso dapat dilihat sebagai contoh kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi. Namun, sikap dan perilaku yang tidak menghormati orang lain juga perlu dipertanyakan. Sebagai negara hukum, Indonesia perlu menjunjung tinggi prinsip-prinsip hukum dan etika dalam menjalankan demokrasi.
Dalam hal ini, penting untuk memahami bahwa demokrasi dan nilai-nilai budaya dapat berjalan beriringan, namun juga perlu diimbangi dengan kesadaran akan hukum dan etika yang berlaku. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk terus memantau dan mengawal proses demokrasi agar berjalan dengan baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum.( Tim ).
Penulis Dr. Murfhi.
