“Bisnis Dapur Bupati: Ketika Makanan Bergizi Gratis Menjadi Sajian Beracun bagi Rakyat”

Daerah
Dilihat 317

Laporan Khusus | Investigasi Kebijakan dan Tata Kelola Publik Lombok Timur

Di atas kertas, program Makanan Bergizi Gratis (MBG) adalah simbol kepedulian negara terhadap generasi muda. Namun di lapangan, aroma amis dari dapur kebijakan publik Lombok Timur justru lebih kuat daripada bau lauk basi yang membuat puluhan siswa muntah di ruang perawatan Puskesmas Batuyang, Kecamatan Pringgabaya.

Sebanyak 31 siswa dari empat sekolah dasar dan menengah dilaporkan tumbang usai menyantap menu MBG pada Jumat, 17 Oktober 2025. Mereka mengeluh mual, nyeri perut, dan muntah. Empat di antaranya harus dirawat inap. Polisi langsung bergerak — Kapolsek Pringgabaya, AKP Gede Gisi Yasa, bersama IPTU Dedi Gunawan turun ke lokasi melakukan pulbaket. Tapi publik lebih dulu mencium bau busuk yang bukan berasal dari dapur sekolah, melainkan dari dapur kekuasaan.

Pihak medis di Puskesmas Batuyang mencoba meredam dengan istilah halus: “dugaan alergi makanan.” Pernyataan itu terdengar diplomatis — bahkan terlalu sopan — untuk menjelaskan fakta bahwa puluhan anak harus dirawat akibat program yang dibiayai dari uang rakyat. Sebab, alergi tidak menular secara serentak ke empat sekolah berbeda, di jam yang hampir bersamaan. Logika sederhana saja sudah menolak teori itu.

Pihak penyedia makanan, SPPG Yayasan Haerul Warisin Pringgabaya, lewat Kepala SPPG-nya, Eka Suryana, menyatakan bertanggung jawab dan siap menanggung biaya perawatan. Sebuah pernyataan yang tampak mulia di media, tapi gagal menutupi aroma pembusukan sistemik di balik bisnis “program” bernama MBG ini.

Menurut investigasi lapangan dan sorotan tajam dari Forum Komunikasi dan Kajian Masyarakat (FKKM) NTB, akar masalahnya bukan di dapur penyedia, melainkan di “dapur kekuasaan”. Ketua FKKM NTB menuding Bupati Lombok Timur lebih sibuk mengelola bisnis dapur pribadi dengan jaringan calo di Jakarta ketimbang mengawasi kualitas gizi dapurnya untuk anak didik.

“Kalau basi kan tidak mungkin dimakan sama anak-anak. Ini jelas dari pengolahan dan bahan baku makanan yang tidak sehat. ‘Alergi makanan’ kok bisa sampai puluhan anak rawat inap?” ujar Ketua FKKM NTB dengan nada getir.

Kritik itu bukan tanpa dasar. Program MBG di Lombok Timur selama ini dijalankan layaknya industri tender politik, bukan proyek sosial. Hampir setiap dapur penyedia memiliki afiliasi langsung dengan tokoh politik atau pejabat daerah. Bahkan FKKM NTB menyoroti bahwa “Bupati memiliki lebih dari satu dapur penyedia MBG” — sebuah eufemisme dari conflict of interest yang terang-benderang tapi seolah tak terlihat oleh aparat dan pengawas.

Bila kebijakan publik adalah instrumen moral negara, maka kasus ini menjadi bukti bahwa moral itu kini digoreng dalam minyak kotor kepentingan pribadi. MBG seharusnya menjadi instrumen pemerataan gizi, bukan mesin eksploitasi anggaran.

Di sisi lain, publik bertanya-tanya: di mana Dinas Kesehatan saat izin edar dan uji higienitas makanan dikeluarkan? Di mana Dinas Pendidikan ketika vendor ditentukan tanpa audit mutu? Dan yang paling penting — di mana hati nurani pejabat ketika anak-anak menjadi korban dari program yang seharusnya memberi mereka harapan?

Kini polisi dan dinas terkait memang sedang menyelidiki kasus ini. Tapi pengalaman publik menunjukkan, penyelidikan sering kali berakhir dengan kalimat klise: “Tidak ditemukan unsur pidana.” Lalu semua kembali normal — kecuali perut anak-anak yang sudah dicekoki kebijakan busuk.

Jika pemerintah Lombok Timur tak segera membenahi sistem pengawasan dan membuka transparansi rantai pasok MBG, maka insiden Pringgabaya hanya akan menjadi “starter” dari tragedi berikutnya.

Dan ketika dapur kekuasaan lebih ramai dari dapur sekolah, rakyat tahu satu hal: yang benar-benar basi bukan lauknya — tapi moral penyelenggaranya.***

(Agus_LB)

You might also like