Lombok Timur, NTB — Kunjungan Asisten Utama Kapolri Bidang Perencanaan dan Anggaran (Astamarena) ke Polres Lombok Timur, yang dikemas sebagai asistensi dan audit pembangunan, justru membuka babak baru kecurigaan publik terhadap praktik pengelolaan proyek di tubuh Polri. Di balik seremoni kedinasan dan paparan progres, proyek pembangunan Gedung Satpas Pelayanan BPKB senilai Rp25,7 miliar ini kini dituding sarat dugaan penyimpangan teknis, administratif, hingga konflik kepentingan yang berpotensi menyeret institusi penegak hukum ke dalam krisis kepercayaan serius.
Paparan Kapolres Lombok Timur AKBP I Komang Sarjana, S.I.K., S.H. yang menyebut proyek hampir rampung dengan sisa 12 hari kerja, dinilai lebih menyerupai laporan kosmetik ketimbang pertanggungjawaban substantif. Strategi lembur dan penambahan tenaga kerja dipertontonkan sebagai solusi, namun publik justru mempertanyakan: dipercepat untuk kualitas, atau dikejar demi menutup jejak persoalan?
Ironisnya, Astamarena Kapolri dalam arahannya menekankan pentingnya integritas, transparansi, dan profesionalisme. Pernyataan tersebut kini berbalik menjadi bumerang, sebab temuan masyarakat sipil justru mengindikasikan adanya jurang lebar antara jargon institusional dan realitas lapangan.
Koordinator Umum Aliansi Pemuda dan Masyarakat Lombok Timur, Pahri Rahman, menilai asistensi Mabes Polri terkesan hanya menjadi forum saling membenarkan antaraparat. “Tidak ada audit kritis. Tidak ada uji fisik independen. Tidak ada penelusuran detail pengelolaan anggaran Rp25,7 miliar yang seharusnya diawasi ketat. Ini berbahaya,” tegasnya.
Lebih jauh, Korlap Satu Aliansi Pemuda dan Masyarakat Lombok Timur Menggugat (APMM), Zaeni Hasyari membeberkan sederet indikasi pelanggaran yang, jika benar, tidak bisa lagi disebut sebagai kelalaian biasa. Mega proyek negara ini diduga tidak menggunakan jasa Manajemen Konstruksi (MK), padahal skala dan risikonya menuntut pengawasan profesional. Bangunan disebut berdiri di atas tanah bongkaran tanpa pemadatan layak, sloof dasar tanpa pondasi memadai—sebuah resep klasik kegagalan struktur di wilayah rawan gempa seperti Lombok Timur.
Penggunaan perancah bambu di tengah anggaran sewa steger yang tercantum dalam RAB semakin memperkuat dugaan manipulasi pelaksanaan. Di sisi lain, pekerja dilaporkan tanpa kontrak kerja resmi, tidak terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan, serta bekerja tanpa standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Helm dan body harness bukan sekadar absen—tetapi seolah tidak dianggap penting dalam proyek yang dibiayai uang rakyat.
Yang paling mengkhawatirkan, APMM menyoroti dugaan konflik peran ekstrem dalam struktur proyek. Kapolres Lombok Timur disebut tidak hanya bertindak sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), tetapi juga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), bahkan diduga berperan sebagai supplier. Jika dugaan ini terbukti, maka proyek ini bukan sekadar cacat prosedur, melainkan berpotensi melanggar prinsip dasar pengadaan barang dan jasa negara.
Belum berhenti di situ, muncul pula dugaan penggunaan solar subsidi untuk proyek konstruksi yang secara aturan wajib menggunakan solar industri. Jika benar, maka ini bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi indikasi penyalahgunaan fasilitas negara yang merugikan publik luas.
Pahri Rahman menegaskan proyek ini wajib dihentikan sementara, diaudit total, dan diuji secara teknis oleh lembaga independen sebelum dilanjutkan. Mereka menyatakan siap membawa seluruh temuan ke Kejaksaan Agung, KPK, dan aparat pengawas internal negara.
Kasus Gedung Satpas BPKB Polres Lombok Timur kini berdiri sebagai ujian telanjang bagi Polri: apakah institusi ini berani membersihkan rumahnya sendiri, atau justru membiarkan proyek bermasalah ini menjadi simbol lain dari pembiaran sistemik? Publik menunggu—dan kali ini, sorotan tidak akan mudah dialihkan. (Tim)













