Bahaya Laten Kapitalisme Pertambangan Bagi Ruang Hidup Orang Halmahera

Daerah
Dilihat 289

Oleh: Muhammad Kasir Hadi

Malut_Kompasnews-khususnya Kabupaten Halmahera Tengah mengandung Sumber Daya Alam (SDA) yang begitu kaya terutama Sumber Daya Alam Biji Nikel.

Dengan kekayaan itulah sehingga melalui program rezim Joko Widodo Halmahera Tengah ditetapkan sebagai wilayah Proyek Strategis Nasional (PSN).

Dengan demikian, agenda hilirisasi nikel semakin tak terbendung disusul dengan ratusan Izin Usaha Pertambangan (IUP) , sejauh ini jika merujuk pada Basis data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyatakan bahwa Halmahera Tengah seluas 227.683 hektar terbebani berbagai industri ekstraktif.

Di daerah ini,  terdapat 22 izin usaha pertambangan, dan satu kawasan industri pengolahan IWIP, dengan total konsesi seluruh perusahaan 95.736,56 hektar atau 42% dari luas Halmahera Tengah. Untuk seluruh Halmahera Tengah, luas bukaan lahan untuk tambang mencapai 21.098,24 hektar.

Alih-alih meningkatkan kesejahteraan masyarakat masifnya operasi pertambangan ekstraktif justru melahirkan bencana sosial-ekologis yang cukup signifikan .

Bencana ini terjadi dengan beragam rupa mulai dari tercemarnya laut dan sungai , polusi udara , kerusakan ekosistem keanekaragaman hayati, konflik agraria, dan lain sebagainya.

Dalam beberapa tahun terakhir Maluku Utara Khususnya pulau Halmahera berdasarkan data Gobal Forest Watch, Halmahera Tengah kehilangan 26,1 ribu hektare tutupan pohon.

Sementara, Halmahera Timur kehilangan 56,3 ribu hektare tutupan pohon dalam periode yang sama. Bayangkan, Hutan yang merupakan paru-paru dunia, benteng pencegah bencana alam dan rumah bagi kehidupan beribu spesies flora dan fauna juga tempat tinggal suku pedalaman yang dikenal dengan O’Hongana Manyawa itu dibabat habis demi keuntungan segelintir orang semata.

Maka, jangan heran ketika musim hujan tiba selalu terjadi banjir bandang yang pada akhirnya Masyarakat kelas bawah lah yang menjadi korban.

Belum lagi sungai yang merupakan sumber air minum masyarakat dan tempat bermain anak-anak Halmahera dengan riang gembira itu dicemari limbah perusahaan.

Berdasarkan riset Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), saat ini ada 82.000 hektar DAS yang telah rusak, tercemar dan harus dipulihkan.

Kondisi ekologis ini semakin parah dan mengancam ruang hidup masyarakat kelas bawah, merujuk pada hasil penelitian Nexus3 Foundation dan universitas tadulako menyatakan bahwa ikan tangkapan nelayan di sekitar Teluk Weda mengandung logam berat arsenik dan merkuri dalam berbagai konsentrasi, dan melebihi batas aman cemaran.

Selain ikan, sampel darah warga lokal menunjukkan bahwa 47% responden memiliki nilai kadar merkuri melebihi batas aman 9 µg/L dan 32% responden memiliki nilai kadar arsenik melebihi batas aman 12 µg/L dari total 46 responden.

Saat darah warga dibandingkan dengan pekerja industri di kawasan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), konsentrasi logam berat warga lebih tinggi dibandingkan dalam darah pekerja.

Ironinya, Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup bukannya mengevaluasi diri dan mempertegas langkah-langkah perusahaan, Mereka malah meragukan hasil riset yang dikeluarkan Nexus3 dan mengklaim tidak ada pencemaran air sungai ataupun kontaminasi pada darah manusia.

Dua parameter logam berat seperti merkuri (Hg) dan Arsenik (Ar) pada badan air, dan air laut masih ditemukan di bawah standar baku mutu, sehingga air sungai dan air laut masih aman belum tercemar.

Lebih parahnya lagi DLH Halmahera Tengah membantah hasil riset ilmiah ini dengan cara yang tidak ilmiah artinya bahwa tidak ada penelitian bantahan yang menunjukan bahwa Air teluk weda itu aman dari logam berat, mereka justru tak lebih hanya celoteh kosong untuk sekadar mempertahankan citranya.

Selain dari bencana ekologis, masifnya operasi pertambangan eksraktif juga melahirkan berbagai macam ledakan konflik sosial.

Ledakan konflik ini salah satu diantaranya adalah konflik tanah adat yang dipicu oleh alih fungsi lahan oleh perusahaan secara ugal-ugalan sehingga melahirkan nestapa bagi masyarakat karena tanah yang merupakan kehidupan mereka malah dirampas untuk memenuhi hasrat bengis pengusaha dan elit politik borjuis dan ketika sebagian warga melawan dan mempertahankan tanahnya, mereka malah ditangkap, dianggap preman dan dikriminalisasi.

Tindakan-tindakan perusahaan tersebut dianggap legal dalam paradigma hukum positif Indonesia hari ini.

Hal ini bisa dibuktikan dengan merujuk pada pada pasal 162 Undang-Undang No.3 Tahun 2020 tentang Mineral dan batu bara yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86F huruf b dan Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”  Padahal, hukum harusnya menjadi panglima tertinggi untuk melindungi masyarakat sebagaimana yang tercermin dalam adagium “le salut du peuple est la supreme loi” bahwa hukum tertinggi adalah hukum perlindungan masyarakat.

Maka tak heran Gubernur Maluku Utara yakni Sherly Djoanda dengan lantang menggaungkan kita harus melindungi iklim investasi mengingat karena Sherly juga menjadi aktor dari masifnya operasi pertambangan hari ini dengan beberapa perusahaan salah satunya adalah PT. Wijaya Karya yang memiliki wilayah produksi seluas 1.145 hektar.

Hal ini semakin membuktikan bahwa pemerintah bersama korporat hari ini tidak pro terhadap kehidupan masyarakat kelas bawah.

Namun demikianlah bahwa Negara di bawah kontrol kapitalisme mendikte semua sendi-sendi kehidupan manusia untuk melindungi kekuasaan kapital mereka.

Tidak ada kesejahteraan masyarakat kelas bawah ditengah monopoli kapital yang kian masif. Beberapa hal yang telah dipaparkan diatas menunjukan bahwa tanah, air, dan segala yang terkandung didalamnya dijadikan komoditas untuk mendapatkan laba sebanyak-banyaknya.

Bahaya laten kapitalisme pertambangan ini semakin nyata, ruang hidup masyarakat Halmahera terus dieksploitasi untuk menimbun kekayaan korporat dan elit politik borjuis.

Pada akhirnya, Pulau Halmahera yang jelita dan kaya itu membuat nafsu borjuis meronta-ronta lalu mereka dengan dalil pembangunan dan stabilitas ekonomi memburu Ia seperti kutukan.

Rubrik: Opini

You might also like