Oleh: Ahmad Husein Batubara
Presiden Direktur Perkumpulan Pemuda Nusantara Pas-Aman (P2NAPAS)
Sumbar, —Kompasnews.co.id.
Ada pemandangan yang makin rutin kita temui di ruang kelas hari ini:
Guru duduk terpaku di meja, sibuk menatap layar ponsel. Di sisi lain, siswa membolak-balik Lembar Kerja Siswa (LKS) atau menunduk pada HP-nya, bukan untuk memahami materi, melainkan mencari jawaban siap salin.
Pertanyaannya: siapa yang sesungguhnya mengajar?
Guru? Buku LKS? Atau mesin pencari Google?
Pendidikan kita — yang seharusnya menjadi ruang interaksi, eksplorasi, dan inspirasi — perlahan berubah menjadi ritual kosong. LKS, yang semestinya hanya alat bantu belajar, kini diposisikan sebagai pengganti guru. Lebih mengkhawatirkan lagi, ponsel tidak digunakan sebagai jembatan informasi, tapi jalan pintas menuju jawaban tanpa proses berpikir.
LKS: Dari Alat Belajar Menjadi Dagangan?
Secara ideal, LKS hanyalah pelengkap. Namun di banyak sekolah, LKS diperlakukan sebagai kurikulum utama. Tidak hanya diwajibkan, tapi sering kali dijual dengan harga tinggi dan terikat pada penerbit tertentu. Celakanya, penerbit itu kadang punya “hubungan istimewa” dengan guru atau pihak sekolah.
Padahal, Dana BOS sudah mencakup penyediaan buku dan sumber digital. Kurikulum Merdeka juga menekankan kebebasan guru dalam menciptakan pembelajaran kontekstual dan kreatif — bukan menjejalkan soal cetakan dan memindahkan beban belajar kepada siswa dan orangtua.
Dalam praktiknya, kita menyaksikan degradasi fungsi pendidikan:
Guru hanya membagi tugas, bukan menjelaskan.
Siswa hanya menyalin jawaban, bukan memahami konsep.
Orangtua diminta membeli LKS, mendampingi anak, bahkan mencarikan jawaban — karena sekolah lepas tangan.
Hasilnya: Generasi Penyalin, Bukan Pemikir
Model pendidikan semacam ini sedang mencetak generasi yang terampil mencari jawaban, tapi gagal memahami soal.
Nilai jadi orientasi, bukan ilmu.
Formalitas menggantikan proses.
Dan yang paling menyedihkan: peran guru tereduksi menjadi “distributor tugas”.
Ini Bukan Kesalahan Guru Semata
Kita tidak boleh sekadar menunjuk hidung. Banyak guru yang sesungguhnya ingin mengajar dengan semangat, tapi terjebak birokrasi, beban administrasi, atau kurangnya dukungan pelatihan. Namun tetap, membiarkan LKS dan HP mengambil alih peran guru adalah bentuk kelalaian sistemik yang tidak boleh dibiarkan.
Solusi Nyata, Bukan Basa-Basi
Untuk menyelamatkan ruang kelas, perlu langkah konkret:
- Guru harus kembali hadir secara utuh.
Bukan sekadar secara fisik, tapi juga secara intelektual dan emosional. - Stop praktik bisnis terselubung LKS.
Sekolah wajib transparan dan adil. Sumber belajar resmi dan digital bisa dimanfaatkan gratis. - Batasi dan edukasi penggunaan ponsel di kelas.
Bukan soal melarang total, tapi mendidik etika digital sejak dini. - Kepala sekolah dan orangtua harus aktif mengawasi proses belajar.
Evaluasi pembelajaran bukan hanya soal nilai siswa, tapi efektivitas pengajaran guru.
Penutup: Pendidikan Adalah Percakapan, Bukan Prosedur
Jika tren ini terus dibiarkan, kita sedang memupuk generasi yang hebat dalam menyalin, tapi lemah dalam menyimpulkan.
Pendidikan tidak boleh menjadi bisnis LKS atau lomba cepat salin jawaban.
Sekolah harus kembali menjadi tempat berpikir, berdialog, dan membentuk karakter.
Dan itu hanya bisa dicapai jika guru — bukan buku LKS atau layar ponsel — yang memegang kendali penuh atas proses belajar.
Redaksi